10 October 2008

Momentum Ketuhanan - 11

MENJAGA RUMAH KUN…

Demikianlah, generasi demi generasi berlalu. Adam pun berhasil mewariskan tongkat estafet sebagai Duta Istimewa Tuhan kepada anak keturunannya. Kita pun, masing-masing sebagai keturunan Adam, tidak dapat menghindar sedikit pun dari destiny kita sebagai penerus tongkat estafet itu. Suka atau tidak suka, kita memang sudah diwariskan oleh Adam tanggung jawab untuk menyemai peradaban di muka bumi yang kita pijak dan di langit yang kita junjung ini.

Tuhan pun, sebagai Dzat Yang Maha Sibuk, telah dan akan selalu MEMFASILITASI segala sesuatunya yang dibutuhkan sang duta-duta istimewa-Nya itu dalam menjalankan tugasnya. Umat manusia yang sudah berkembang biak dengan kecepatan yang sangat mengagumkan ini, dengan TELATEN tetap disapa oleh Tuhan dengan sabda-Nya: “Kun…, Kun…, Kun…, jadilah…,”, lalu tak tertahankan “Fayakun…, maka jadilah…!”.

DAYA sapaan KUN dari Tuhan itu mengalir melintasi zaman dengan smooth, unstopable, dan predictable ke Rumah Kun yang berada di dada, di otak, dan di farji anak cucu Adam. Sehingga DADA umat manusia itu akan selalu penuh dengan berbagai “kehendak” untuk membangun, menganyam, merangkai, dan merombak peradabannya sendiri. Begitu juga…, OTAK manusia itu akan selalu PENUH dan RAMAI dengan berbagai rencana, logika, strategi, teknis, dan pengaturan lainnya agar semua kehendak membangun peradaban yang telah dialirkan Tuhan kedalam dada umat manusia itu bisa terlaksana. Dan…, FARJI anak Adam itu juga akan selalu GAGAH PERKASA dalam memenuhi kehendak Tuhan untuk memancarkan jutaan benih yang akan melahirkan generasi-generasi baru umat manusia sebagai penerus tongkat estafet duta istimewa Tuhan.

Nah…, tugas kita, sebagai anak cucu Adam, ini sebenarnya sangat sederhana saja, yaitu:

1. Tugas pertama dan utama kita adalah: bagaimana agar kita tetap bisa menjaga KELEMBUTAN DADA kita setiap saat, sehingga kita bisa memonitor kehendak Tuhan yang mengalir masuk ke dalamnya. Dada yang lembut pastilah bisa merasakan dan membedakan bahwa saat ini kita SEDANG didorong oleh Allah kearah perlaku FUJUR atau kearah perilaku TAQWA…?!.

Indikatornya juga sangat sederhana sekali. Cobalah AMATI dada kita. Saat kita tengah didorong oleh Allah ke arah perilaku FUJUR, yang sebabnya adalah karena kita berpaling dan melupakan Allah, bisakah saat itu juga kita merasakan adanya rasa sakit, rasa tersiksa, rasa tidak enak yang mengiringi perilaku kita itu. Meskipun kita berhasil melakukan perbuatan fujur itu dengan sukses, akan tetapi selalu saja ada muatan rasa negatif yang menggandoli dada kita. Ya… tetap saja itu namanya siksaan.

Begitupun sebaliknya, saat kita tengah didorong oleh Allah ke arah perilaku TAQWA, sebagai buah dari kesadaran, kebergantungan kita yang kuat kepada Allah, bisakah saat itu juga kita menyadari dan merasakan kebahagian, kegembiraan, kesenangan, ketenangan yang mengalir bersama apa-apa yang kita lakukan itu.

Dengan DADA kita yang hidup dan lembut, tatkala kita mampu mengamati dada kita yang sedang dialiri oleh rasa tersiksa, karena memang saat itu kita tengah didorong Allah ke arah perilaku FUJUR, maka kita akan sangat mudah sekali untuk sadar dan kembali (TAUBAT) menuju ke arah kebaikan. Artinya…, saat kita merasakan bahwa ketika itu kita tengah dicampakkan oleh Allah, di tendang oleh Allah, di istidraj oleh Allah, karena berpalingnya kita (YA’SYU) dari Allah, maka saat itu juga kita mampu untuk buru-buru kembali berlari ke Allah agar supaya Allah mengambil rasa tersiksa itu untuk kemudian diganti-Nya dengan rasa bahagia, agar Allah mengganti kehendak ke arah kefujuran yang mengalir ked alam dada kita itu dengan kehendak ke arah ketaqwaan. Proses kembali seperti ini disebut dengan TAUBAT. Dan…, ternyata kita TIDAK akan pernah bisa untuk bertaubat kalaulah tidak ada daya dan rahmat dari Allah.

Begitu juga…, dengan dada kita yang lembut dan hidup, kita akan mampu mengamati dada kita yang sedang dialiri oleh rasa bahagia, tenang, dan damai. Dan seketika itu juga kita buru-buru kembali ke Allah menghantarkan ungkapan RASA SYUKUR kita kepada-Nya, sehingga dada kita akan dialiri oleh rasa bahagia yang bertambah dan bertambah setiap kali kita mengembalikan rasa syukur itu kepada Allah.

Kembalinya kita ke Allah saat kita ditimpa rasa tersiksa akibat musibah maupun saat diberi rasa bahagia karena nikmat, sebenarnya hanyalah sebuah keniscayaan saja. Karena kalau tidak, maka kita akan diikat, dikuasai oleh rasa tersiksa, maupun rasa bahagia itu. Tidak jarang kita mendengar ada orang yang mati gara-gara tersiksa ataupun gembira. Mati kesedihan atau mati kesenangan.

Nah…, dada yang lembut, hidup, dan luas, inilah modal utama yang harus kita pelihara setiap saat agar kita selalu BISA MEMILIH PERAN yang akan kita ambil dalam meramaikan dunia ini. Begitu ada sebuah kehendak yang ditarok kedalam dada kita, maka baik atau buruknya pelaksanaan atas kehendak itu kita sudah bisa merabanya, sehingga kita bisa mengambil sikap atas kehendak yang muncul tersebut.

Bersambung (sumber: milis patrapmania)

No comments: