10 October 2008

Momentum Ketuhanan - 12

Andaikan kehendak yang ditarok di dada kita itu adalah kehendak untuk berbuat baik, dan pemenuhan kehendak itu mengarah pada perbuatan TAQWA, maka dada kita yang sudah lembut tersebut akan dibuat bahagia, sehingga orang yang bekerja dengan berbahagia akan dialiri oleh DAYA BAHAGIA itu. Kita tidak capek, tidak lelah, tidak terpaksa sedikitpun dalam melaksanakan kehendak itu. Kita akan bekerja dengan semangat dan kekuatan penuh. Motivasi kita akan membakar semangat siapapun juga dalam upaya mewujudkan kehendak itu. Sungguh…!, bisa bersandar pada daya kebahagiaan itu merupakan salah satu anugerah yang terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita. Dan orang yang berbahagia, tidak mungkinlah dia akan berbuat fujur, atau tidak baik. Dia akan terpisah dengan perilaku tidak baik itu tanpa membutuhkan tenaga sedikitpun. Suasana seperti ini disebut juga dalam istilah agamanya dengan suasana di TUNTUN, di I’ANAH. Suasana pengharapan kita disetiap shalat kita: “Iyyaa ka na’ budu wa iyya ka nasta’in”.

Begitupun sebaliknya…, tatkala sebuah kehendak yang tidak baik tiba-tiba muncul juga di dalam dada kita yang sudah hidup dan lembut itu, dan pelaksanaan atas kehendak itu mengarah kepada perbuatan FUJUR, maka seketika itu juga akan muncul rasa tidak enak yang mengalir ke dalam dada kita. Rasa tidak enak inilah yang kemudian yang akan menyadarkan kita bahwa saat itu sebenarnya kita tengah didorong oleh Tuhan menjauh dari-Nya, sehingga kita buru-buru berlari mengarah kembali ke Allah (taubat) dan berdialog dengan-Nya:

“Ya Allah…, ada apa ini ya Allah kok saya di dorong mengarah kepada kefujuran seperti ini….??,

Apa ada yang keliru pada saya saat ini ya Allah…?.

Tuntunlah saya kembali kearah ketaqwaan ya Allah, dan rahmatilah kehendak yang muncul di dada saya ini ya Allah…!”.

Lalu kita diam, menunggu respon dan jawaban Allah atas keheran-heranan kita itu.

Karena kita berlari kembali (taubat) kearah Allah Yang Maha Hidup untuk minta kejelasan dan petunjuk, maka biasanya respon Allah itu adalah berupa ditahannya kita (DI ISYMAT) dari perbuatan fujur itu, untuk sebaliknya kita di dorong kembali kepada pemenuhan kehendak tadi dengan cara-cara yang dikategorikan sebagai perbuatan taqwa. Berpindahnya dorongan dari kefujuran menjadi dorongan kearah ketaqwaan tadi itu terjadi begitu cepatnya, seketika, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai suasana di beri BURHAN, di CERAHKAN, di RAHMATI. Daya hasil pencerahan ini begitu besarnya, sehingga kita tinggal bersandar saja kepada daya itu untuk keluar dari dorongan kefujuran. Dan dengan daya itu jugalah kita bersandar untuk melakukan perbuatan ketakwaan dengan tanpa bersusah-payah sedikitpun.

Suasana serba di isymat ketika kita menghindari perbuatan buruk maupun di isti’anah ketika kita melakukan perbuatan baik, TIDAK akan pernah kita rasakan sedikitpun tatkala dada kita ini KERAS MEMBATU. MATI…!. Kalau sudah begini, maka sebenarnya saat ini juga kita tengah meniti sebuah tragik hidup yang sangat menyedihkan. Betapa tidak…, early warning system yang seharusnya sejak awal-awal memberikan sinyal peringatan dini agar kita tidak terperosok ke jurang keangkaramurkaan perbuatan fujur, malah tidak berfungsi sama sekali. Macet…!. Akibatnya…, sungguh mengerikan…!.

Akibat itu misalnya…, ketika ke dalam dada kita yang sudah membatu dan mati itu ditarok sebuah kehendak, dan untuk pemenuhan kehendak itu kita didorong pula kearah perbuatan fujur, misalnya perbuatan maksiat, maka tidak sedikitpun kita bisa menghindar dari pelaksanaan perbuatan fujur itu. Tidak ada rasa malu dan tidak pula sedikit pun muncul rasa bersalah ketika kita melakukan perbuatan fujur itu. Seperti ada daya yang sangat kuat yang mendorong kita ketika kita melakukan perbuatan fujur itu, dan kita seperti bersandar saja kepada daya itu. Malah anehnya lagi ada pula rasa nikmat yang muncul mengiringi pelaksanaan perbuatan fujur itu. DUAAR…!. Maka terjadilah perbuatan maksiat itu dengan segala akibatnya yang biasanya sangat merepotkan sekali. Tersiksa sekali. Dan perbuatan maksiat itu akan kita lakukan lagi…, lagi…, lagi…, dan lagi…!. Seperti tak henti-hentinya kita di dorong untuk silih berganti melakukan satu perbuatan maksiat ke perbuatan maksiat lainnya.

Tragik hidup ini akan bertambah buruk lagi tatkala kita tengah di dorong untuk melakukan perbuatan fujur itu, kita tidak sedikitpun bisa menghindarinya. Walaupun, misalnya, ada rasa menyesal atau rasa ingin berbalik arah untuk kembali kepada perbuatan TAQWA, akan tetapi untuk kembali menjadi baik itu alangkah sulitnya, kalau tidak mau dikatakan tidak bisa. Kita seperti dihalangi Tuhan untuk menjadi baik, karena memang saat itu kita tengah dituntun untuk menjadi tidak baik. Semua itu terjadi karena kita didorong Tuhan menjauh dari Tuhan sendiri akibat dari berpalingnya kita dari Dia. Sehingga dengan daya dorong dari Tuhan itu, kita menjadi lancar sekali dalam melakukan perilaku ketidakbaikan itu. Lancar tapi bermasalah, karena kita memang didorong Allah kepada perilaku yang bertentangan dengan FITRAH…!.

Logis sekali sebenarnya hubungan sebab akibat diatas. Karena memang Tuhanlah yang menarok setiap kehendak ke dalam dada kita, karena memang Dia adalah Sang Maha Berkehendak. Dan Tuhan pulalah yang memberikan setiap daya kepada kita untuk mewujudkan kehendak itu. “Laa haula wala quwwata illa billah…, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan sebab adanya DAYA dan KEKUATAN dari Allah”.

Daya dan kekuatan dari Allah itulah yang kemudian mengalir ke dalam OTAK kita untuk kemudian otak melakukan proses koordinasi yang sangat unik agar kehendak itu bisa terlaksana. Dengan menyisir kumpulan file pengetahuan yang sudah ada di dalam otak, kita kemudian mampu menyusun logika-logika, rencana-rencana, cara-cara, metodologi, gerakan-gerakan, mobilitas, dan berbagai kegiatan lainnya untuk mewujudkan kehendak tadi menjadi kenyataan. Proses terstruktur seperti ini dalam istilah agamanya disebut sebagai kegiatan MAKAR.

Tatkala daya-daya itu mendorong kita kearah kefujuran, maka logika yang keluar dari otak kita juga adalah logika-logika yang mendukung agar perbuatan fujur itu bisa terlaksana dengan mantap. Alasan-alasan, uraian-uraian, dan dalil-dalil yang muncul juga sangat meyakinkan sekali dan dengan kualitas seorang pakar pula. Bahkan ayat-ayat kitab suci pun bisa pas dan cocok pula dilekatkan pada logika-logika tersebut yang sebenarnya hanyalah alasan untuk NGELES saja. “Ha… ha… ha…, kutipu kau…!”, kata kita di dalam hati kepada masyarakat yang terkagum-kagum dengan logika-logika ngeles tersebut.

Sebaliknya…!. Ketika daya itu mendorong kita ke arah perbuatan baik dan taqwa, maka logika yang lahir pun adalah logika-logika yang cemerlang. Kita seperti bisa melihat hubungan keterikatan yang sangat indah diantara titik-titik logika, anyaman pengetahuan, dan kumpulan pengertian yang ada di alam semesta ini. Subhanallah…, Laa ilaha illa anta…!!.

Dan sebagai alat peringatan dini untuk membedakan perbuatan itu apakah bersifat fujur atau taqwa, dibutuhkan dada yang hidup dan lembut. Karena dada yang mati dan keras membatu tidak akan pernah bisa sedikitpun untuk memilah-milah mana sinyal untuk perbuatan taqwa dan mana yang untuk perbuatan fujur. Dada yang mati akan menerjemahkan taqwa dan fujur itu dengan cara yang keliru. Perbuatan baik dikiranya tidak baik, sebaliknya perbuatan buruk ditangkapnya sebagai sinyal perbuatan baik. Terbalik-balik memang, dan buahnya pun hanyalah munculnya rasa capek, rasa terpaksa, dan rasa tersiksa yang berkepanjangan…!. Anehnya walaupun kita tahu semua itu adalah salah, terbalik-balik dan membuat kita capek pula, akan tapi kita tidak berdaya apa-apa untuk merubahnya…

Bersambung (sumber: milis patrapmania)

No comments: